Di Pulau Bulan, sebuah pulau terpencil yang berlokasi di wilayah Batam, ratusan pekerja mengalami keterpurukan setelah dihadapkan pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sepihak oleh PT. Indo Tirta Suaka (ITS), sebuah perusahaan eksportir ternak yang berada di bawah naungan Salim Grup. Masalah ini telah mencapai titik di mana para pekerja merasa terpinggirkan dan tidak didengar oleh pihak manajemen, sehingga mereka memutuskan untuk mengadukan nasib mereka ke Kantor DPRD Batam.
Ketika rapat digelar di Ruang Komisi IV DPRD Batam, Mustafa, Ketua Komisi yang bertanggung jawab atas urusan tenaga kerja, menyampaikan kekecewaannya karena manajemen perusahaan tidak hadir dalam rapat tersebut. Alasan ketidakhadiran mereka, seperti yang diungkapkan, adalah karena pimpinan perusahaan sedang berada di luar kota dan pihak manajemen menerima undangan secara mendadak. Namun, Mustafa menegaskan bahwa absennya perusahaan dalam tiga kali undangan DPRD merupakan pelanggaran yang tidak bisa diabaikan. DPRD Batam berwenang untuk mengambil langkah-langkah lebih lanjut, bahkan sampai melakukan kunjungan langsung ke lokasi perusahaan di Pulau Bulan, meskipun akses ke pulau tersebut sangat terbatas bagi masyarakat umum.
Perwakilan para pekerja, Virgilius Rutu, menyoroti kurangnya transparansi dari pihak manajemen terkait alasan di balik PHK massal ini. Para pekerja yang telah setia bekerja selama puluhan tahun mendapatkan kejutan yang tidak menyenangkan ketika diberitahu tentang pemecatan mereka tanpa alasan yang jelas. Bahkan, enam orang yang telah mengabdikan sebagian besar hidup mereka untuk perusahaan itu sendiri tidak menerima pesangon atau kompensasi apapun atas layanan mereka yang setia. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakadilan yang mendalam di antara pekerja.
Yang lebih memprihatinkan lagi, sikap serikat pekerja yang seharusnya menjadi penengah dan pembela hak-hak pekerja ternyata tidak memberikan dukungan yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa para pekerja merasa terpinggirkan tidak hanya oleh manajemen perusahaan, tetapi juga oleh wakil-wakil mereka sendiri.
Ketidakpuasan dan kekecewaan para pekerja semakin mendalam karena perusahaan tidak menunjukkan komitmen untuk berpartisipasi dalam penyelesaian masalah ini dengan hadir dalam rapat DPRD. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan mungkin tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan konflik ini secara damai dan ingin melanjutkan masalah ini hingga ke proses hukum.
Para pekerja yang terkena PHK berharap agar perusahaan segera mengambil tindakan yang adil dan bertanggung jawab atas nasib mereka. Mereka menuntut hak-hak mereka sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan, termasuk pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang seharusnya mereka terima. Situasi ini menciptakan ketegangan yang serius antara pekerja dan manajemen perusahaan, dan nasib pekerja tersebut kini tergantung pada kemampuan DPRD Batam untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka.