Kampung Prawirotaman, yang terletak di Yogyakarta, punya daya tarik yang unik sebagai kawasan wisata. Kalau kamu pernah ke sana, pasti udah nggak asing dengan julukan kampung turis atau bahkan kampung bule—karena memang lebih banyak wisatawan asing yang berkeliling dan menginap di kawasan ini dibandingkan wisatawan lokal. Saking terkenalnya, banyak yang menyebut Prawirotaman sebagai versi Yogyakarta-nya Canggu, Bali.
Di sekitar sini, kamu bisa dengan mudah menemukan berbagai penginapan, kafe, restoran, toko oleh-oleh, hingga art shop yang semuanya seolah-olah dibuat khusus untuk memenuhi kebutuhan turis asing. Tapi, di balik keramaian dan vibe khas wisatawan itu, ada sejarah menarik yang patut kamu tahu.
Kampung Prawirotaman ini jaraknya sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, tepatnya berada di wilayah Kelurahan Brontokusuman. Kalau dilihat dari tata letak jalan, kawasan ini terbagi oleh dua jalan besar, yaitu Jalan Parangtritis dan Jalan Sisingamangaraja (Jalan Karangkajen). Nah, jalan yang menghubungkan dua ruas ini disebut Jalan Prawirotaman, yang terbagi lagi menjadi Prawirotaman I, II, dan III. Jalan Prawirotaman I ini lah yang paling terkenal dengan sebutan kampung turis, sementara yang lainnya juga nggak kalah seru, penuh dengan fasilitas yang mendukung kegiatan wisata.
Berdasarkan buku “Dinamika Kampung Kota Prawirotaman dalam Perspektif Sejarah dan Budaya” karya Sumintarsih dan Ambar Adiyanto (2014), sejarah Kampung Prawirotaman berawal pada abad ke-19, saat kampung ini menjadi tempat tinggal Abdi Dalem Prawirotomo—sekelompok prajurit yang membantu Sultan Hamengkubuwono dalam perjuangan melawan penjajah. Sultan pun memberi hadiah berupa tanah di selatan Keraton, yang kemudian dikenal dengan nama Prawirotaman.
Dari situ, kampung ini berkembang menjadi tempat tinggal para keturunan prajurit Prawirotomo, yang sering memakai nama dengan embel-embel Prawiro. Selama periode perjuangan melawan Belanda, banyak warga Prawirotaman yang turut berjuang, bahkan ada yang membentuk laskar bernama ‘Hantu Maut’. Selain itu, kampung ini juga terkenal sebagai kampung batik, terutama pada tahun 1950-an hingga 1970-an. Saat itu, banyak warga Prawirotaman yang menjadi juragan batik, dan kampung ini dikenal sebagai pusat pengrajin batik, dengan beberapa rumah batik yang bahkan memproduksi kain tenun dengan alat tenun tradisional (ATBM).
Sayangnya, kejayaan batik Prawirotaman mulai surut pada akhir 1970-an. Beberapa rumah batik yang ada mulai disewakan sebagai pondokan untuk para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Dari sinilah awal mula Prawirotaman berubah fungsi menjadi kampung turis. Penginapan-penginapan yang dulunya adalah rumah batik mulai berkembang, diikuti oleh banyaknya usaha yang mendukung pariwisata, seperti toko suvenir, restoran, money changer, hingga layanan tur.
Warga Prawirotaman pun makin kreatif, banyak yang membuka usaha seperti menjadi tour guide, supir, atau bahkan menyewakan kendaraan. Jadi, nggak hanya mengandalkan pekerjaan di sektor pariwisata, warga kampung juga beradaptasi dengan perubahan zaman dan berkontribusi terhadap perkembangan sektor wisata Yogyakarta.
Kini, Kampung Prawirotaman yang dulu dikenal sebagai kampung abdi dalem dan kampung batik, sudah dikenal luas sebagai kampung turis yang ramai dengan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Begitulah, sejarah panjang yang mengubah Prawirotaman menjadi kawasan yang dinamis dan selalu berkembang!