Surabaya, kota yang kini dikenal sebagai salah satu pusat ekonomi di Indonesia, memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak masa kerajaan hingga era kolonial. Pada awalnya, pusat kota Surabaya terletak di kawasan yang dikenal dengan nama “kota bawah” atau beneden staad. Kawasan ini menjadi inti dari kota lama dan menyimpan sejumlah bangunan bersejarah yang dibangun antara tahun 1870-an hingga 1940-an. Arsitektur beragam yang tersisa dari periode tersebut memberi kota ini karakter yang khas. Namun, warisan sejarah ini kini berada dalam tantangan besar, berhadapan dengan pembangunan bangunan baru yang terus berkembang pesat.
Nama Surabaya sendiri selalu dikaitkan dengan dua hal: Hujunggaluh dan toponimi (sura dan baya). Beberapa pendapat menyebutkan bahwa Surabaya awalnya dikenal dengan nama Hujunggaluh, yang merujuk pada sebuah lokasi yang menjorok ke laut, yang kini diperkirakan terletak di kawasan Kampung Galuhan, dekat Jalan Pawiyatan, atau di belakang Penjara Bubutan. Nama Hujunggaluh terdiri dari dua kata, yakni “hujung” yang berarti tanah yang menjorok ke laut, dan “galuh” yang berarti emas, menggambarkan tanah yang kaya di muara Kali Mas.
Pada abad ke-10, Hujunggaluh memiliki peran penting dalam peta politik daerah. Pada tahun 905 M, Hujunggaluh menjadi pusat pemerintahan di bawah seorang pejabat yang disebut “parujar”, setara dengan seorang bupati. Pada 929 M, Raja Sindok memindahkan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menjadikan Hujunggaluh sebagai pelabuhan dagang penting di muara Sungai Brantas.
Asal usul nama Surabaya sendiri beragam. Versi pertama menyebutkan bahwa Surabaya berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kata “sura” yang berarti keberanian atau kenekatan, dan “bhaya” yang berarti berbahaya atau kesulitan. Versi kedua menyatakan bahwa nama ini berasal dari bahasa Jawa asli, yakni “sura” yang mengacu pada ikan hiu dan “baya” yang merujuk pada buaya. Kedua versi ini memberikan gambaran tentang kekuatan dan potensi berbahaya yang tersirat dalam simbol ikan dan buaya.
Masa kolonial membawa perubahan besar bagi Surabaya. Setelah jatuh ke tangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Surabaya mengalami perubahan struktural yang signifikan. VOC membangun berbagai infrastruktur, termasuk benteng dan loji, yang pertama kali dibangun di sekitar kawasan utara kota, seperti yang terlihat di kompleks kantor Gubernur Jawa Timur saat ini.
Namun, pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan, dan pemerintahan kolonial Belanda mengambil alih kendali atas wilayah ini. Surabaya mengalami transformasi lebih lanjut pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels, seorang gubernur jenderal Perancis yang memerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Daendels terkenal karena mengubah wajah Surabaya menjadi sebuah kota Eropa kecil, dengan pembongkaran benteng Belanda dan pembangunan infrastruktur seperti Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang menghubungkan pantai utara Pulau Jawa.
Selain itu, Daendels juga membangun pabrik senjata dan benteng militer untuk memperkuat pertahanan kota. Pada tahun 1835, Surabaya berubah menjadi pusat kedudukan pasukan Belanda dengan membangun pemukiman baru di sekitar benteng. Kota ini tidak hanya menjadi pusat militer, tetapi juga pelabuhan penting yang mendukung perekonomian kolonial, terutama setelah dibukanya wilayah pedalaman Jawa Timur untuk Sistem Tanam Paksa.
Selama periode ini, Surabaya tumbuh pesat dengan pembangunan jembatan, kanal, dan jalan-jalan beraspal yang mendukung aktivitas perdagangan dan industri. Menjelang akhir abad ke-19, Surabaya telah menjelma menjadi kota terbesar di Hindia Belanda, meskipun dalam kondisi yang seringkali terkesan kusut dan tidak terencana. Puncak perkembangan kota ini terjadi pada tahun 1870, ketika dikeluarkan Undang-Undang Gula dan Undang-Undang Agraria yang mengakhiri praktik Tanam Paksa dan membuka peluang bagi pengusaha Eropa untuk mengembangkan bisnis pertanian mereka di Surabaya.
Pembukaan Terusan Suez pada tahun yang sama juga mempercepat arus migrasi dan perdagangan ke kota ini. Dengan berbagai perubahan yang terjadi selama periode kolonial, Surabaya terus berkembang menjadi kota pelabuhan yang penting, baik sebagai pusat perdagangan, militer, dan pemerintahan, serta menjadi tempat pertemuan berbagai budaya. Seiring berjalannya waktu, meskipun warisan sejarah kota ini terus menghadapi ancaman dari pembangunan modern, Surabaya tetap mempertahankan karakter khasnya sebagai kota yang kaya akan sejarah dan budaya.