Dua penumpang kereta yang diduga terinfeksi virus Marburg dievakuasi dari stasiun kereta api Hamburg, Jerman Rabu (2/10) siang waktu setempat. Tim kesehatan dengan kostum hazmat lengkap membawa keduanya, seorang mahasiswa kedokteran dan pacarnya, turun setelah mereka mengalami gejala flu di kereta. Penumpang lain dipindahkan dan polisi menutup dua jalur di stasiun selama beberapa jam sebelum dibuka kembali.
Menurut laporan koran Die Welt, Unit Pemadam Kebakaran Hamburg dihubungi oleh salah satu satu korban yang mengalami muntah ringan. “Dia kemudian menghubungi Unit Damkar karena dia curiga ada yang tidak beres dengan tubuhnya,” kata petugas, mengutip Politico. Sementara tabloid Bild melaporkan dua korban tiba di Jerman dengan pesawat langsung dari Rwanda, di mana virus Marburg dinyatakan sebagai wabah nasional sejak 27 September, setelah sebelumnya menangani pasien yang kemudian didiagnosis terinfeksi virus mematikan tersebut.
Mahasiswa dan pacarnya itu kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Universitas Eppendorf yang memiliki spesialisasi penyakit tropis. Bagasi mereka diamankan aparat untuk meminimalisir risiko penularan. Rwanda yang terletak di Afrika Timur mengumumkan delapan orang meninggal karena virus tersebut sejak akhir pekan lalu, dan 26 pasien lainnya tengah dirawat. Virus Marburg menyebabkan demam, muntah darah, dan diare dan memiliki tingkat kematian 88 persen.
Korban terinfeksi melalui kontak dengan cairan tubuh pasien. Marburg memiliki kemiripan ciri pada gejala dengan Ebola – namun tidak seperti Ebola, tidak ada pengobatan atau vaksin untuk Marburg. Marburg disebabkan oleh virus ortomarburg, virus yang secara alami terdapat pada satwa kelelawar buah. Virus ini merupakan satu keluarga dengan virus Ebola.
Melihat gawatnya situasi lapangan saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhir pekan lalu mengerahkan tim yang terdiri dari tujuh ahli penyakit hemoragik global ke Rwanda beserta perlengkapan dan alat kesehatan untuk membantu aparat kesehatan setempat. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS juga menyatakan Senin (30/9) mengirim ahli ke Rwanda untuk membantu upaya pengujian dan pelacakan kontak penularan.
Meski dianggap sangat mengkhawatirkan, berbeda dengan beberapa negara Afrika sub-Sahara lainnya yang pernah menangani wabah Marburg, Rwanda dianggap memiliki sistem kesehatan publik yang cukup baik. “Dengan sistem tanggap darurat kesehatan yang sudah kuat di negara ini, WHO bekerjasama dengan pemerintah Rwanda memberikan dukungan yang diperlukan,” kata Dr. Matshidiso Moeti, Direktur Regional WHO untuk Afrika.